Tentang Kenyamanan

Pagi ini saya dikejutkan sebuah kabar dari media sosial Tiktok bahwa ada sebuah tragedi di terminal Bungurasih Surabaya. Terminal yang katanya terbesar di Pulau Jawa itu bikin geger. Pasalnya ada calon penumpang yang menghajar calo sampai babak belur.

Saya bisa memahami si penumpang yang bagi saya tetap adalah korban. Ia ditipu, disuruh bayar tiket tapi bis selama 2 jam tak kunjung datang. Si calo berhadapan dengan orang yang salah. Merasa bisa dapat cuan, tetapi malah bonyok sampai harus dirawat di rumah sakit.

Apa yang dialami oleh si korban, yakni penumpang, pernah saya alami, hanya belum sampai ke tahap adu mekanik. 

Bungurasih adalah simbol kebobrokan sistem yang terus lestari, atau dilestarikan. Buat apa ada calo, bukankah sekarang semua penumpang sudah bebas dari buta huruf. Tulisan mengenai jurusan bis sudah terpampang besar-besar. 

Sebagai orang asli Surabaya, Bungurasih memang menyebalkan tetapi saya sudah punya auto mode yang membuat calo juga tidak berani terlalu memaksa. Tetapi kasihan kepada mereka yang polos dan mungkin baru pertama kali ke sana. 

Apakah tidak ada aparat? Untuk masalah ini lebih baik tidak usah ditanyakan, karena sudah pasti tentu ada. 

Dari rasa tidak nyaman, ditipu hingga mendapat kekerasan, orang akhirnya males naik bis. Mereka lebih memilih kereta api meski harganya ga ngotak sama sekali. Tetapi demi keluarga nyaman, tidak masalah. Lainnya lebih memaksakan diri bepergian naik motor. Atau kemudian menabung untuk kredit mobil. Apapun asal nyaman. 

Pada akhirnya okupansi bis menurun. Rejeki para supir berkurang dan seperti biasa, pemerintah jadi sarana untuk disalahkan. Apa pemerintah lalu peduli? Itu lain soal. 

Kenyamanan adalah kunci dari bisnis. Jika mampu menghadirkan rasa nyaman, meski mahal, kustomer akan mahfum dan mewajarinya. Entah itu hotel, depot, bahkan sampai bisnis transportasi. 

tentang kenyamanan
tentang kenyamanan

Di usia sekarang ini, saya juga sedang mempertahankan kenyamanan yang saya miliki, dan berusaha untuk mencari jika ada. 

Saya tidak mau terkecoh dengan adegium gila: keluar dari zona nyaman. Manusia normal baru keluar dari zona nyamannya karena tahu ada zona lain yang lebih nyaman. 

Selain mencari kenyamanan, saya juga berusaha memberikan kenyamanan. Ini yang susah. Orang cenderung menuntut orang lain untuk memberikan layanan terbaik tetapi mereka sendiri sering lupa untuk melakukanya pada orang lain. Jika keseimbangan ini terjadi, percayalah bahkan perang akan menjadi sesuatu yang mustahil untuk terjadi.

Tetapi dunia ini fana, penuh dengan ketidaksempurnaan. Orang nyaman nyetel lagu dangdut keras-keras tanpa peduli orang lain merasa tidak nyaman, bahkan muak. Orang asik saja telpon keras-keras tanpa mau sadar orang lain tidak peduli dengan omongannya, bahkan cenderung terganggu. 

Untuk itulah penting orang waras hidup bersama orang waras lain. Orang yang suka ketenangan hidup bersama orang yang sama-sama suka ketenangan. Orang gila sound horeg, silahkan hidup bersama yang sejenis. Kasihan kalau dicampur. 

Tetapi untuk mewujudkan hal tersebut, kata kuncinya adalah: uang. Bisa menyekolahkan anak di sekolah swasta bagus yang gurunya disiplin, tidak ada bully dan anak-anaknya mengharamkan contekan. Itu butuh biaya. Sama halnya dengan beli rumah di kluster dimana orang-orang menghargai tetangganya dengan tidak terlalu ikut campur apalagi merusak kenyamanan bersama. 

Saya percaya di surga nanti, bersama Kristus yang Maha Sempurna, hidup akan penuh dengan kenyamanan. Setidaknya tidak berisik. Dan tidak seperti bersekolah di sekolah yang bener atau tinggal di lingkungan yang baik, surga tidak butuh uang. Jenis tiketnya berbeda. Meski rasa-rasanya juga tidak mudah mendapatkannya. 

Matahari sudah makin tinggi. Saatnya ngeteh dulu tanpa gula. Awalnya tidak nyaman, tetapi demi kesehatan, standar kenyamanan kadang harus diubah. Setuju? Semoga Tuhan memberkati Anda. 

Posting Komentar untuk "Tentang Kenyamanan"